Senin, 06 Juni 2016

Traveling and Teaching #9 1000 Guru Surabaya


SDN Tukul 3, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur 6-7 Mei 2016

Tidak terasa ya Travelling and Teaching 1000 Guru Surabaya sudah memasuki gelombang yang ke-sembilan. TnT kali ini terasa sangat spesial. Kenapa? Karena diadakan serentak di seluruh regional Indonesia untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Bagi kami volunteer yang tergabung dalam kegiatan ini juga merasa diistimewakan dan merasa bangga bisa ikut berpartisipasi untuk pendidikan di pedalaman Indonesia.

        Sesuai dengan tagline-nya “travelling and teaching”, komunitas 1000 guru ini mulanya tercetus karena sang founder terinspirasi dengan kegiatan liburan jalan-jalan anak muda dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mengeksplor keindahan negeri ini. Tapi bagaimana kalau acara jalan-jalan tersebut ditambah dengan kegiatan mengajar anak-anak sekolah di pedalaman? Bisa dibayangkan, pasti jauh lebih seru dan bermanfaat karena liburan tidak melulu soal menghabiskan uang dan pulang ke rumah hanya mendapatkan kesenangan itu saja. Kalau kita berbagi terhadap sesama, tentu akan lebih baik dan berkesan.

Kami, para volunteer yang tergabung di TnT#9 1000 Guru Surabaya

Technical meeting


     Oke, cerita dimulai dari Surabaya yang merupakan titik awal keberangkatan kami. Sekitar pukul pukul 22.00 WIB, kami menuju Probolinggo. Jarak yang harus kami tempuh cukup jauh dan membutuhkan waktu sekitar 5 jam dengan mengendarai truk TNI. Tidak banyak aktivitas yang kami lakukan sepanjang perjalanan kecuali tidur.

Bersiap-siap berangkat.


Singkat kata, kami tiba di sana sekitar pukul 03.00 subuh karena ada acara nyasar sedikit ke daerah Lumajang. Untuk menjangkau rumah-rumah warga, kendaraan harus melewati medan yang cukup berat. Jalanan sempit yang di kanan-kiri ditumbuhi pohon-pohon besar liar dengan tanjakan-turunan curam membuat pak sopir ekstra hati-hati. Apalagi tidak ada penerangan sama sekali kecuali lampu truk yang kami naiki. Bahkan ban belakang truk sempat selip alias tidak bisa menanjak. Kami  pun sempat panik tapi syukurlah, kami selamat meskipun truk tidak bisa melanjutkan perjalanan dan kami harus naik-turun ke rumah warga untuk memindahkan barang-barang yang dibutuhkan selama kegiatan. Bisa dibilang kami semua tengah berolahraga terlalu pagi.

    Di sana, kami semua ditampung di rumah bapak RT setempat. Sebagian dari kami langsung memasak untuk sarapan (kebanyakan volunteer cewek untuk yang sesi pertama), sisanya ada yang istirahat, mempersiapkan keperluan, dan shalat Subuh. Kami semua tidak sempat untuk tidur. Istirahat yang kami maksud tadi yaitu istirahat duduk-duduk di kursi sambil menunggu baterai HP penuh. Ya, soal sinyal tentu saja sangat buruk bahkan nyaris tidak ada. Muncul satu garis pun masih untung-untungan, itupun bagi yang menggunakan provider bagus. Ya sudah, mau tidak mau harus "puasa" chatting dan sosial media. Kami sama sekali tidak mempersoalkan masalah itu. Lebih tepatnya kami harus mengesampingkan kebutuhan tersebut. Toh hanya 2 hari saja apa susahnya? Kami harus mau bersusah dan tahan banting, itu salah satu syarat agar bisa ikut kegiatan ini.

     Setelah sarapan dengan makanan yang sederhana tapi rasanya enak luar biasa (mungkin karena efek makan bersama), kami pun berangkat menuju SDN Tukul 3 yang jaraknya kurang-lebih 3 kilometer dari rumah pak RT. Di sini kami harus dituntut kuat oleh diri sendiri, karena kami menyusuri jalanan setapak yang cukup berat. Di awal-awal, kami begitu bersemangat sambil sesekali bercanda. Tapi di pertengahan jalan, kami mulai naik-turun bukit. Butuh energi ekstra saat menanjak, dan mengurangi kecepatan kaki saat menurun. Satu dari kami bahkan ada yang nyaris pingsan karena saking capeknya. Ada pula yang rasanya udah hopeless saja buat melanjutkan perjalanan. Maklum, beberapa volunteer sebelumnya tidak pernah tracking, termasuk yang nulis ini hehe. Tapi berhubung melihat semangat adik-adik untuk menuntut ilmu dan ingat tujuan kegiatan ini, maka kami terus berjalan sampai akhirnya tiba di sekolah.

    Well, kami cuma sekali loh seperti ini. Tidak bisa membayangkan gimana dengan adik-adik yang setiap hari harus susah-payah demi masa depan mereka kelak. Kami tahu mereka tidak malas untuk tetap bersekolah. Buktinya setiap hari mereka berjuang ke tempat di mana mereka mendapatkan ilmu. Memang sih mereka mungkin sudah bertahun-tahun dan sudah terbiasa, tapi tetap saja itu jauh dan butuh tenaga. Kami membayangkan gimana kalo beberapa di antara mereka adalah anak dari keluarga kurang mampu yang jarang mencicipi sarapan tiap pagi. Belum lagi medan yang harus ditempuh cukup berat.

    Pertama kali melihat Sekolah Dasar Negeri Tukul 3 rasanya miris sekali. Sekolah dengan standar negeri hanya cukup dua bangunan sangat sederhana, yang untuk membedakan satu kelas dengan kelas lain hanya menggunakan papan triplek. Ternyata pendidikan Indonesia memang masih ada yang jauh tertinggal khususnya di pedalaman. Sekolah itu mempunyai jauh dari kata layak dari segi bangunan, fasilitas, tenaga pengajar, dan materi pembelajaran. Sekolah itu tidak memliki ruang kepala sekolah, ruang guru, toilet, UKS, apalagi kantin. Bahkan lambang garuda pun tidak terpajang di dinding kelas. Guru pengajar hanya ada tiga terdiri dari satu lulusan sarjana, satu lulusan SMP yang ikut kejar paket C, dan satu lagi lulusan SMA. Tentu bisa ditebak beliau-beliau menyandang sebagai guru setingkat apa kan?

    Sesuai dengan rencana, kegiatan pertama adalah upacara bendera. SDN Tukul 3 tidak memiliki tiang bendera sebelumnya, yang artinya juga tidak pernah melaksanakan upacara sejak sekolah itu berdiri. Tiang bendera kami  beli dan membawanya dari Surabaya ke sana untuk kejutan. Sesudah mengajarkan latihan untuk adik-adik pengibar bendera, mengajari peserta baris-berbaris dengan rapi, upacara pun dilaksanakan. Mereka tampak canggung dan bingung. Beberapa dari volunteer bahkan mengikuti tiga anak pengibar bendera untuk menginstruksikan haluan.

Lagu Indonesia Raya berkumandang untuk pertama kalinya di halaman sekolah yang kecil itu. Untuk lagu kebangsaan negeri sendiri pun mereka banyak yang tidak hafal sebenarnya. Miris sekali tapi juga kasihan pada mereka. Di mana mereka adalah anak bangsa, generasi muda Indonesia berikutnya tapi tidak mendapatkan “porsi” yang setara dengan lainnya yang lebih beruntung. Para guru tentu sudah mengajarkan hal ini, tapi tetap saja diperlukan penunjang yang lebih memadai. Bukan sekadar teori, tapi juga parktiknya.

Tidak sampai lima menit, pengibaran bendera selesai, selanjutnya adalah pembacan teks pancasila, sambutan dari kepala sekolah dan ketua tim 1000 guru Surabaya. Usai pelaksanaan upacara bendera, kegiatan berikutnya yaitu ice breaking. Istilah lainnya mungkin bisa disebut dengan pemanasan. 

     Selanjutnya adalah acara belajar-mengajar. Para volunteer sudah dibagi untuk mengajar kelas berapa saja. Secara keseluruhan, total murid di SDN Tukul 3 ini berjumlah 48 murid, itu pun ada beberapa yang tidak masuk. Misalnya kelas 3 dan 4, mereka harus digabung menjadi satu dan belajar di ruangan terbuka, sementara lainnya tetap berada di dalam kelas. Saya sendiri kebetulan mengajar kelas 6 dengan salah satu volunteer. Murid kelas 6 hanya ada tujuh siswa dan syukurlah mereka masuk semua waktu itu. Karena waktu mengajar yang terbatas, kami hanya bisa memberikan soal-soal UNAS yang di setiap mata pelajaran hanya diambil satu soal saja.
          
       Istirahat pertama dimulai dan kali ini acaranya adalah kereta sampah yang mengharuskan semua murid berserta para pengajar berbaris memanjang dan berjalan sambil mengumpulkan sampah sebanyak mungkin. Di sini kami mengajarkan gimana pentingnya kebersihan bagi diri sendiri dan lingkungan. Ada juga sesi cara cuci tangan yang benar. Berikutnya ada pembagian susu kemasan untuk adik-adik sambil sedikit mengobrol tentang cita-cita. Tidak lupa ada acara sharing season bersama kepala sekolah dan guru SDN Tukul 3 tentang kekurangan dan keluhan yang selama ini tidak hanya dirasakan sesaat, tapi bertahun-tahun lamanya, dan bagaimana solusi pemecahan masalahnya.
          
    Jam pelajaran kedua pun dimulai. Saatnya untuk pengenalan profesi. Pengenalan profesi di sini maksudnya adalah mengenalkan berbagai macam pekerjaan yang barangkali adik-adik belum tahu betul. Selama ini yang mereka ketahui jika ditanya apa cita-citanya, banyak yang menjawab ingin menajdi dokter, polisi, guru, pilot atau bahkan tentara. Memang di antara semuanya itu adalah pekerjaan yang sangat bagus. Ada kelebihan dan manfaatnya sendiri. Tapi apa mereka tidak ingin jadi penulis yang bukunya jadi best seller terus diangkat ke layar lebar? Apa mereka nggak tertarik jadi pengusaha yang bisa membuka lapangan kerja baru? Apa mereka tidak ingin jadi arsitektur? Dan masih banyak yang lainnya. Kami diharuskan menjelaskan apapun untuk membuka pandangan adik-adik agar lebih luas. Kami juga memotivasi mereka agar tidak menyerah menggapai mimpi-mimpi meski banyak hambatan. Di mana untuk mewujudkan suatu keinginan, pertama kita diharuskan untuk berani bermimpi. Karena mimpi juga termasuk motivasi yang sejalan dengan pemikiran. Selanjutnya untuk melengkapi  adalah dibutuhkan niat dan tekad.
          
     Waktu pun habis karena acara pohon harapan sudah menunggu. Apa sih pohon harapan itu? Jadi begini, adik-adik dari kelas 1-6 diberi kertas berbentuk daun dan di situ mereka disuruh menulis cita-cita mereka. Lalu kami para tim, volunteer, dan murid-murid berkumpul di satu ruangan. Dimulai dari kelas 1 dan berlanjut kelas 2, begitu seterusnya hingga kelas 6. Mereka bergantian menempelkan daun-daun itu pada sebuah gambar batang pohon, menyebutan nama-kelas-harapan lalu kami semua berucap, “Aamiin” untuk mendoakan supaya keinginan mereka tercapai.
          
    Acara belum selesai susudah itu. Yang terakhir para adik-adik disuruh menulis kesan-pesan terhadap kedatangan kami ke sekolah mereka. Dan pasti kami semua sangat terharu membaca tulisan mereka yang sederhana, lugu, tapi bermakna besar bagi kami. Mereka yang berterima kasih atas kerelaan kami mau mengajar sekaligus berbagi, meminta kami kembali suatu saat nanti, minta dipeluk kalau lulus UNAS, meminta kami untuk tetap mengingatjangan mereka, dan kalimat-kalimat lainnya yang tidak kalah menyentuh. Dan kegiatan teaching pun berakhir.
          
      Karena hari sudah siang, kami para tim dan volunteer makan siang terlebih dahulu dengan makanan yang dikirim ke atas oleh warga. Lalu menunaikan shalat Dhuhur, dilanjutkan mengantarkan beberapa murid pulang sekaligus membagikan sembako ke orangtuanya, yang artinya kami harus berjalan sedikit ke atas. Ditambah waktu itu turun hujan meskipun tidak deras. Tapi tidak masalah karena sekalian menikmati pemandangan sekitar yang dimana-mana banyak pohon pinus dan cemara, bukit hijau, suara serangga bersahutan yang tidak pernah ditemui di kota besar. Ada pula yang di antara kami beristirahat karena terlalu capek setelah itu.
          
       Tim volunteer yang berlatar belakang medis seperti yang ikut dalam TnT kali ini ada dokter, bidan, pelayanan kesehatan masyarakat, dan farmasi, bergabung untuk mengadakan pengobatan gratis bagi warga sekitar. Kami mendatangi satu rumah ke rumah yang lain dan para warga begitu antusias untuk memeriksakan kesehatannya secara cuma-cuma. Kami juga senang karena sambutannya mencerminkan respons positif dari mereka.  
          
       Sore hari sebelum turun dan kembali ke rumah penampungan, kami shalat Ashar dan bersih-bersih sekolah yang kotor terkena lumpur. Kami menyapu dan mengepel lantai yang air bersihnya bisa didapatkan dengan berjalan ke atas sekitar 50 meter bolak-balik. Usai melakukan pembersihan sekolah, kami semua bersiap-siap untuk turun. Hujan sudah reda waktu itu. Beberapa murid yang udah berganti seragam bermain di pelataran sekolah. Saya masih ingat betul bagaimana suasana sebelum kami semua meninggalkan area sekolah. Sejuk, tenang, dan damai. Menyatu dengan alam itu memang luar biasa menyenangkan.
          
      Kami pun mulai turun dan mendengar adik-adik yang kebetulan mengetahui kami pulang, saling meneriakkan ucapan perpisahan. Kami membalasnya dengan teriakan juga. Seolah-olah tidak mau kalah, serangga-serangga hutan juga ikut bersuara. Itulah momen yang paling berat karena harus berpisah dengan adik-adik di sana. Bahkan mungkin saja ada yang berkaca-kaca atau meneteskan air mata karena terlalu sedih harus berpisah dengan mereka. Ya, siapa tahu,. Itu manusiawi.
          
      Hari sudah mulai gelap, matahari juga tidak tampak terlihat, tapi kami masih setengah jalan di tengah-tengah hutan dalam perjalanan kembali ke rumah salah satu perangkat desa setempat. Senter-senter dinyalakan dan kami saling menunggu satu sama lain agar tidak terpisah. Apalagi kontur tanah yang sangat becek usai diguyur hujan. Kami pun harus naik-turun bukit lagi. Bedanya, kali ini kok terasa lebih cepat dibandingkan pas berangkat meskipun kadar lelahnya sama. 

     Dan akhirnya kami sampai sekitar setengah tujuh malam. Kami istirahat sebentar, bersih-bersih badan, shalat Magrib, lalu makan malam bersama. Setelah makan malam kami para tim dan volunteer mengadakan evaluasi tentang kegiatan tadi. Pasti di setiap kegiatan ada kelebihan dan kekurangan yang harus dibahas agar ke depannya bisa jauh lebih baik lagi. Kami saling memberi kesan-pesan masing-masing terhadap komunitas 1000 Guru Surabaya yang tentunya kami sangat bangga bisa menjadi bagian dari komunitas ini, salut dengan tujuan utamanya, senang bisa mendapatkan teman baru dari latar belakang, keluarga, dan profesi yang berbeda-beda.
         
      Untuk 1000 Guru Surabaya, dari saya pribadi semoga semakin sukses, para timnya semakin kompak, terus menebar inspirasi bagi anak-anak muda Indonesia agar mau tergerak peduli dan berbagi terhadap sesama. Ada TnT-TnT berikutnya, dan semoga menjadi wadah yang tepat untuk menyalurkan minat pendidikan termasuk kami kakak-kakak volunteer di TnT#9 dan sebelum-sebelumnya.
            
     Singkat saja, untuk traveling-nya keesokan hari, kami mengunjungi air terjun Tundo Pitu yang jaraknya juga cukup jauh dan belum dikenal khalayak umum. Jalanannya juga naik-turun. Di sana pemandangannya luar biasa indah. Dengan pohon pinus dan cemara yang menjulang tinggi. Sungai yang membelah bukit-bukit hijau di sebelah kanan-kirinya. Kabut tipis yang menyelimuti. Udara yang segar dan sejuk. Kami mengadakan sarapan di sana, dengan alas daun pisang sambil menikmati pemandangan menyegarkan mata dan mendengar suara air yang jatuh. Tidak lupa, kami juga foto bersama sebagai kenang-kenangan. Pokoknya momen yang luar biasa dan sulit untuk dilupakan di antara kami para tim dan volunteer. Terbukti, sampai sekarang ada saja yang merasa baper, entah baper dalam hal apa hehe.

     Sorenya setelah balik dari air terjun dan makan siang, kami berpamitan pulang pada Pak RT berserta keluarga yang superbaik dan tidak pernah marah karena mau menampung kami yang suka bikin heboh dan rusuh. Warga di sana perhatian dan peduli banget, tidak seperti di perkotaan, memang. Top deh! Oke, kami pun pulang. Surabaya, we’ll come back!

    Semoga tulisan ini bisa menjadi motivasi dan menjadi tempat berbagi pengalaman yang kami ikuti selama TnT#9. Maaf kalau ada kekurangan atau hal-hal yang kurang berkenan. Yang menulis cerita ini juga masih belajar untuk lebih baik lagi. Teruslah menebar kebaikan karena kita tidak pernah tahu sesungguhnya kapan kita akan "pulang".

      Salam lima jari dari kami para volunteer TnT#9 Spesial Hardiknas di SDN Tukul 3, Kecamatan Sumber, Kabupaten probolinggo (6-7 Mei 2016)


Teaching to Share, Travelling to Care! 




          

Senin, 15 Februari 2016

Tips ke Jogja ala Backpacker Amatiran



Awalnya sih nggak berniat buat nuangin pengalaman liburan super-singkatku di blog, tapi kalo nggak bercerita di tempat lain seperti blog ini, misalnya, rasanya kurang enak aja. Soalnya di sini juga bisa untuk kenang-kenangan dan itung-itung share buat kalian yang baca tulisan ini. Oke, aku mulai aja ya. Begini awal mula ceritanya... *tsaahh*

HARI PERTAMA
Jauh-jauh hari, bahkan sekitar tiga bulan sebelumnya, aku berencana untuk melancong ke Jogja. Yep, mendengar kota yang satu ini pasti pikiran kita langsung tertuju pada Malioboro, Keraton, Alun-Alun,  Candi Borobudur, dan untuk kulinernya pastilah gudeg. Yogyakarta, siapa sih yang nggak kenal kota dengan unsur adat Jawa yang sangat kental itu? Mulai dari silsilah keluarga, jabatan, bahasa, keramahan, atau sopan-santun warganya. Jogja memang bagus. Pesonanya mampu menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Nggak hanya musim liburan aja, hari-hari biasa Jogja juga banyak menjadi pilihan destinasi liburan yang patut diagendakan. Aku pertama ke sana waktu kelas 10 SMA, dan diberi kesempatan lagi ke Jogja 26 Oktober 2015 kemarin. Alhamdulillah... Nggak salah banyak orang yang bilang Jogja itu ngangenin dan istimewa.

Berangkat dari Surabaya ke Jogja nggak perlu naik pesawat (iyalah, ini kan backpacker. Tapi kalau kalian ada duit lebih ya monggo bagi yang ingin jarak tempuhnya singkat dan nggak terlalu lama). Aku berburu tiket kereta api saja yang lebih terjangkau dan ekonomis. Sebenarnya aku hampir aja pesen tiket kereta bisnis Sancaka Pagi yang harganya 160.000, tapi urung melihat waktu keberangkatan dari Stasiun Gubeng-Tugu kok lama banget, hampir sama dengan kereta Pasundan yang tiket PP-nya sudah di tangan dengan harga 210.000 (100.000 untuk pergi dan 110.000 untuk pulang), waktu tempuhnya beda satu jam setengah doang. Nggak masalah kan ya? Iya dong, wong di dalam kereta juga nyantai. Kadang-kadang orang backpacker-an sama ngiritnya kebangetan itu beda tipis haha.

Untung juga, dekat-dekat tanggal berangkat, mulanya aku dan satu temanku aja yang kayaknya ke sana. Tapi ternyata nambah dua orang lagi (yang artinya pengeluaran bisa dibagi rata ini hehe).  Dan berangkatlah kami berempat dari Gubeng pukul 07.15. Keretanya datangnya on time banget, bahkan kurang lima menit sebelumnya. Memang sekarang sistem perkeretaapian Indonesia jauh lebih baik dibandingkan zaman dulu yang amburadul dan nggak jelas. Boro-boro dapet AC, wong duduk aja jarang nggak kebagian dan sering ngejogrok di dekat pintu, bahkan pernah aku sampai muntah karena saking nggak kuatnya berdesak-desakan dan dipadu dengan aroma khas ketek yang memabukkan. Untung aja waktu itu ada satu kantong plastik nganggur, aku sambar aja tanpa basa-basi.

Ya udahlah, ngapain aku jadi curcol nggak penting gitu? Back to topic!

Asli candid meski ekspresinya nggak jelas wkwk

Di dalam kereta, udah pada tau kan kalau sekarang udah nyaman banget? Full AC, nggak ada pedagang asongan yang wira-wiri, nggak ada orang ngamen yang kalo nggak dikasih duit memaki-maki penumpang, dan nggak ada yang jadi cleaning service dadakan. Pokoknya beda jauh deh. Setiap kursi dilengkapi dengan dua colokan, mantap dah buat para traveller yang suka buka sosmed dan batre HP-nya cepet habis hehe. Buat kalian yang memang punya uang saku pas-pasan dan bener-bener niat jadi “bolang”, alangkah baiknya beli makanan dan minuman yang banyak sebelum naik kereta. Kenapa? Soalnya di dalam kereta harganya lumayan mahal. Seporsi nasi rames yang pake kotakan itu aja harganya 26.000 kalo nggak salah dengar waktu service crew nyebutin harganya pada salah satu penumpang yang kebetulan duduk di depanku. Untunglah, aku dan ketiga temanku punya bekal yang memadai hingga tiba di stasiun Lempuyangan. Dari Gubeng-Lempuyangan, menempuh waktu sekitar kurang lebih 7 jam. Waaah, menurutku itu udah lama banget loh dan aku juga sampai bosan. Duduk kelamaan capek juga ternyata.

Pukul 14.20, kami tiba di Lempuyangan. Oh ini stasiunnya, batinku, karena ini pertama kali aku ke Jogja naik kereta. Kami berempat turun dan langsung kebingungan karena harus mau ke mana. Pengetahuan kami tentang Jogja sayangnya minim dan di antara kami berempat cuma aku yang pernah ke sana. Ketiga temanku pun mengandalkan daya ingatku yang agak-agak kurang bisa dipercaya untuk memandu mereka. Rencananya kami mau ke daerah Malioboro dulu untuk cari penginapan dengan harga murah-meriah, habis itu jalan-jalan sore di seputaran sana. Jadi daripada kayak orang bego, bertanyalah salah satu temanku ke satpam stasiun. Apesnya, si satpam itu malah manggil tukang becak yang udah stand by di depan stasiun ––yang setahuku pasti punya niatan memodusi kami, terlebih para pelancong––dan itu memang benar. Si tukang becak terus ngikutin kami sampai ke persimpangan jalan menawari tumpangan ke Malioboro dengan harga 20.000/orang dan sekaligus dicarikan penginapan. Gileee... mahal bener. Kami langsung menolak mentah-mentah dan memutuskan untuk jalan kaki! Info dari temanku yang pernah KKN di Jogja, katanya Lempuyangan-Malioboro itu nggak jauh. Cukup jalan kali dan itung-itung olahraga nggak ada salahnya untuk dicoba.

Kami giliran bertanya  pada setiap warga yang kami temui. Petunjuk dari mereka sangat jelas dan nggak sampai setengah jam persimpangan jalan Malioboro-Pasar Kembang udah di depan mata! Cihuy.... rupanya memang dekat dengan Lempuyangan lho. Untung kami nggak kemakan bualan tukang becak tadi. Pokoknya kalo kalian turun Lempuyangan, pintu keluar langsung bisa belok kanan. Aku nggak tahu itu ke utara, selatan, barat, atau timur, pokoknya ke arah kanan. Kemudian lurus aja sampai keliatan palang pintu kereta, kalian belok kiri (jangan ke kanan melewati relnya), lalu kalian akan nemuin gang pertama sebelah kanan itu masuk lagi, tinggal luruuussss aja sampai keluar ke jalan raya. Nah, dari situ ada petunjuk arah dishub yang terpampang di atas jalan, salah satunya ke pusatnya Jogja, yaitu Malioboro.

Kami berhenti sejenak ditrotoar depan hotel Inna Garuda untuk menghubungi pihak losmen di jalan Sosrokusuman yang udah aku search di google beberapa hari lalu dan nyatanya kurang jelas. Kami pun memutuskan untuk mencari penginapan di lokasi lain. Di sebelah kanan jalan Malioboro, terdapat kawasan wisata, di antaranya yang aku ingat yaitu Dagen dan Sosrowijayan yang jadi surganya para backpacker lokal maupun asing . Kami masuk ke Sosrowijayan dan langsung ditawari penginapan oleh beberapa orang. Pertama, kami menurut diajak melihat-lihat losmen, tapi harganya kurang bersahabat, kami sepakat untuk cari yang lain. Yang jadi keinginanku yaitu ke hotel Indonesia. Aku ingat temanku sebulan sebelumnya pernah merekomendasikan penginapan itu dan aku juga lupa pernah mencarinya di internet. Katanya murah banget, jadi kami menuju ke sana. Setelah tanya-tanya ke resepsionis yang ternyata seorang pria tua, kami melihat kamar yang tersedia dan akhirnya deal dengan harga 145.000/malam untuk triple bed, non AC, non TV. Fasilitasnya selain tempat tidur, ada kipas angin dan kamar mandi dalam. Bagiku cukup bagus lah. Tempatnya juga bersih dan nyaman. Kami check-in dan istirahat sebentar.

Kawasan Dagen yang menjadi surganya para backpacker.


Halaman depan hotel Indonesia. Recomended untuk dicoba.


Sore hari, sesuai dengan rencana kami, kami pun jalan-jalan keluar di sekitar Malioboro. Sore itu juga aku mau bertemu temanku yang kenal lewat facebook. Dari situ kami mulai chatting dan jadi lebih akrab. Kebetulan rumah teman yang aku maksud ada di daerah Jogja, tepatnya di Bantul.

Yawis ngene iki. Sok keren kabeh haha.


Kami menyusuri sepanjang jalan Malioboro yang saat itu belum mempunyai trotoar yang lebar. Tujuan kami adalah ke Benteng Vredeburg. Suasananya benar-benar ramai, apalagi di sekitar Vredeburg dan Istana Negara yang lokasinya berseberangan. Banyak turis lokal maupun para bule duduk-duduk di tempat duduk yang tersedia, menikmati Jogja sore hari menjelang petang. Aku dan ketiga temanku berfoto-foto sebentar di depan Vredeburg karena museumnya udah mau tutup. Setelah itu keliling-keliling seputaran nol kilometer yang waktu itu jalannya sedang dalam perbaikan.

Jalan-jalan berkeliling Malioboro dengan menaiki
dokar emang seru, tapi lebih seruan jalan kaki :)


Benteng Vredeburg yang cukup sepi.


Sambil menunggu temanku dari Bantul tadi, kami duduk-duduk dan menikmati suasana yang memang sepertinya nggak ada sepinya hingga malam nanti. Setelah temanku menelepon, beberapa menit kemudian dia datang. Itu pertama kalinya kami ketemu. Kami ngobrol-ngobrol ringan––kebanyakan tentang buku haha––yang bagi kami sangat seru. Selain ngebawain camilan bakpia, dia juga memberiku tiga buah buku sekaligus sebagai hadiah ulang tahun yang ke... Ehem, 18 tapi ditambah 4 wkwkwk. Pokoknya seneng banget bisa ketemu Mbak Yusda hehe. Terima kasih banyak udah mau direpotin dengan diriku ini. Next time we’ll meet again. Kapan-kapan main ke Surabaya ya! Hehehe...

Habis dari ketemuan dan foto-foto dengan teman Jogjaku, aku dan ketiga temanku balik ke penginapan. Rencana kami setelah ini yaitu ke tugu Jogja yang ada di persimpangan jalan Sudirman-Mangkubumi-A.M.Sangaji-Diponegoro. Jam memang sudah cukup malam, sekitar setengah sebelas, itu pun takutnya udah jalan jauh tapi nggak nyampe tempatnya.

Tapi katanya kalau ke Jogja nggak mampir ke tugu, itu artinya belum benar-benar ngerasa di Jogja, jadi kami pun ke sana dengan berjalan kaki kira-kira sejauh 1 kilometer (hasil tebakan kami yang asli ngarang karena gambar peta yang sebelumnya kami dapat di Mirota batik kan skala kecilnya aja, siapa tahu jarak sebenarnya 5 kilometer? Bisa-bisa gempor nih kaki).

Tapi untungnya sih nggak. Tugu memang berjarak kurang-lebih 1 kilometer dari Malioboro. Kalau mau ke sana, rugi  kalau nggak jalan kaki. Nggak perlu naik becak atau andong. Tenang aja, malam hari suasana Jogja malah semakin ramai. Banyak angkringan yang berdiri di pinggir jalan, ditemani musik dan lagu khas dari musisi jalanan di sana.

Di tugu Jogja juga belum sepi. Ada suguhan live music dari band lokal. Beberapa SPG dengan pakaian aduhai yang menawarkan produk salah satu provider juga turut serta meraimakan acara. Kami jadi betah berlama-lama di sana haha. Kami baru balik ke penginapan pukul satu dini hari. Setibanya di penginapan, tanpa perlu waktu lama lagi, kami semua tepar karena saking capeknya.


HARI KEDUA
Esok harinya, kami bangun pukul 7 dan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Candi Prambanan. Kenapa Prambanan, kok bukan Borobudur? Yeah, kami liburannya kan di Jogja, bukan di Magelang, Jawa Tengah. Jadi Prambanan wajib dikunjungi dong. Kalau ke Borobudur, waktunya terlalu mepet dan budget juga nggak termasuk anggaran. Sebelum pergi ke sana, kami mencari sarapan di sekitar Malioboro, habis itu beli sedikit oleh-oleh buat keluarga di rumah. Mau beli bakpia  Pathok 25, tapi aku udah minta tolong (banget) buat dibeliin temanku di yang asli Jogja tadi dan nanti uangnya diganti. Oke, soal itu beres deh.

Kami balik ke penginapan untuk beberes dan check-out jam 11 siang––lebih awal satu jam dari perjanjian dengan pihak losmen. Kami udah nggak sabar buat tiba dan ngelihat candi Hindu terbesar di Indonesia sekaligus jadi warisan dunia UNESCO itu. Alhasil, planning untuk mampir ke wisata Taman Sari pun gagal total dan jadi bayang-bayang sampe sekarang karena masih penasaran banget gimana suasana di dalamnya dan nggak jadi jepret-jepret. Ujung-ujungnya selalu ngiri kalau lihat acara liburan di tv atau unggahan foto di sosmed. Tapi kalau ke Jogja lagi mudah-mudahan kesampaian.

Angkutan umum di Jogja menurutku udah cukup memadai. Kebanyakan sih taksi dari berbagai merk mobil, kalau angkot kayaknya nggak ada. Kami berjalan ke halte untuk ke Prambanan dengan naik TransJogja. Dengan membayar hanya 3.600 rupiah aja dan nanti diberi satu kartu untuk masuk ke area halte untuk nunggu busnya datang, kami bisa menempuh waktu yang singkat dan jarak yang lumayan jauh. Itu pun armada busnya udah lumayan banyak jadi nggak ada penumpukan penumpang. Rute yang kami pilih yaitu trayek 1A yang nantinya melewati Malioboro-Gondomanan-Raya Janti (JEC)-Bandara Adi Sutjipto-Gembira Loka-Kalasan-Prambanan. Kira-kira 45 menit kami akhirnya berhenti di halte terakhir.

Suasana di dalam TransJogja.
Sumpah, ibu petugasnya kalo ngasih tau halte pemberhentian cepet banget


Turun dari bus, saranku jangan meladeni para tukang becak yang menawarkan jasanya haha. Bukannya jahat, maksudku kalian yang mau ke Prambanan nggak berarti dilarang naik kendaraan roda tiga itu. Ingat kembali pada tujuan utama; backpacker-an. Satu hal yang berkaitan dengan backpacker adalah HEMAT, bukan malah menghambur-hamburkan uang yang nantinya bisa kalian gunakan jika kalian menemukan sesuatu yang lebih penting dan butuh lainnya.

Dari halte Prambanan, candinya udah kelihatan kok. Cuma kami harus jalan kaki dulu sejauh 1 kilometer untuk menuju pintu masuknya. Cuaca pada saat itu panas luar biasa. Kami berjalan di trotoar dengan berusaha semangat ngelawan panasnya Jogja yang menggila. Masa iya harus kalah dengan dua bule yang kebetulan bareng sama kami? Malu dong haha. Mereka aja sama sekali nggak kelihatan lelah, jadi kami berempat harusnya juga bisa.

Sesudah masuk gerbang utama, kami menuju loket untuk membeli tiket masuk. Untuk turis lokal, tiketnya 30.000 (dewasa) dan 12.500 (anak-anak). Tersedia juga tiket terusan seharga 50.000 (Prambanan, Candi Bubrah, dan Ratu Boko nanti naik shuttle bus). Aku cuma tahu tiket terusan untuk turis lokal aja, kalau asing kurang tahu, pastinya lebih mahal lagi ya. Untuk tiket turis asing ke Prambanan aja sebesar 171.000 (dewasa) dan 85.000 (anak-anak). Habis beli tiket, waktunya meng-explore Prambanan. Cihuy!

Jarak dari pintu masuk tiket dan candinya terasa cukup jauh karena cuaca panas lagi puncak-puncaknya. Persedian air mineral botolan kami juga tinggal sedikit padahal nyampe candinya aja belum. Di luar perkiraan, aku sendiri niatnya berfoto-foto ke semua candi dan berbagai sudut, kalau perlu. Tapi nyatanya? Aku malah duduk-duduk santai di anak tangga salah satu candi untuk berteduh sambil ngeliatin wisatawan yang sedang berkunjung haha. Pokoknya, benar-benar malas karena panasnya. Apalagi di Prambanan kan lumayan berdebu. Keinginan buat foto udah nggak seniat tadi. Pengen cepat-cepat balik terus beli minuman dingin buat nyegerin tenggorokan.

WOW! Asli keren banget.

Turis lokal wkwk :D

Nggak sesuai ekspektasi.


Nggak niat foto.


Tapi kesenanganku tetap nggak berkurang. Dulu aku cuma bisa lihat candi Prambanan lewat tv aja dan dengar cerita legendanya saat mulai SD. Sekarang, aku ngelihat dengan mataku sendiri. Bangunan candi berdiri megah di sekeliling, membuatku takjub. Ada candi Siwa, candi Brahma, candi Wisnu, candi Nandini, candi Angsa, candi Garuda, dan masih ada beberapa yang lainnya. Luar biasa sekali, kan? Indonesia memang kaya banget deh. Mulai dari alam, kebudayaan, situs warisan, bahkan penduduknya. Tapi ini yang penting, ingat selalu untuk merawat dan menjaga lingkungan wisata. Jangan pernah buang sampah sembarangan!

Kami berwisata ke Prambanan kurang lebih empat jam. Saat hendak menuju pintu keluar aja, kudu jalan kaki dulu sejauh kira-kira 1 kilometer, LAGI. Dan pas udah jalan beberapa meter, kami seperti nemuin oase di gurun pasir *halah berlebihan* tapi itu perumpamaan yang tepat kok. Udah bekal minum habis, nggak jajan karena nggak ada orang yang jual di dalam candi, kami nemuin air minum gratis di pos dekat penyewaan sepeda. Nggak pake lama lagi, kami langsung ngambil dan minum dengan brutal. Mungkin kalau dibotolin udah sekuruan botol aqua gede tiga kali. Karena lama-lama nggak enak sendiri sama petugas di sana, kami ngelanjutin perjalanan. Kami mampir sebentar ke museum yang mirip pendopo untuk istirahat, habis itu lanjut keluar.

Lukisan Presiden RI yang pertama Ir. Soekarno.

Ada yang tau ini patung apa?


Di sepanjang pintu keluar, banyak pedagang yang menjual beraneka macam oleh-oleh khas Prambanan. Harganya relatif murah. Gantungan kunci aja dijual 1.000/biji. Aku membeli 10.000 dengan bentuk beda-beda tanpa perlu menawar. Aku juga beli beberapa jajanan yang harganya harus ditawar terlebih dahulu. Nggak usah takut atau sungkan, kita kan pembeli. Nawar berapa aja sah-sah aja dong, asal jangan kelewat murah dari harga yang disebutin penjualnya. Tawarlah dengan separuh harga yang jadi patokan. Ohya, lakukan itu juga waktu mau cari buah tangan di kawasan Malioboro. Dijamin, nggak bikin isi dompet sekarat. Yang penting; wajib menawar, jangan asal oke-oke aja. Nggak lucu dong kalo baru liburan tapi duit udah pengen ngajak pulang karena pengeluaran yang nggak terkontrol.  

Waktu menunjukkan pukul tiga sore, kami berjalan menuju halte Prambanan untuk balik ke Malioboro. Kenapa ke sana? Ya karena malam itu juga kami harus kembali ke Surabaya. Benar-benar singkat, padat, dan jelas, kan, liburan ala backpacker amatiran ini? Kalo aku sendiri sebenarnya kurang, tapi masalahnya salah satu temenku cuma cuti dua hari dari kerjaannya.

Kami naik TransJogja dengan harga yang sama, 3.600. Trayeknya pun masih sama juga yaitu 1A. Nanti bus yang kami naiki akan mulai dari Prambanan-Kalasan-Bandara Adi Sutjipto-Maguwoharjo-Janti (JEC)-UIN Kalijaga-Sudirman (Tugu)-Mangkubumi-Malioboro. Halte Malioboro sendiri ada 2, kami berhenti di halte 1 yang dekat dengan Inna Garuda. Sedangkan Malioboro 2 haltenya dekat dengan Beringhardjo.

Tujuan kami ke Malioboro untuk nongkrong di sana sampai jam enam sore dan nunggu oleh-oleh bakpia dari Mbak Yusda. Kami memotret suasana sekitar, tapi lama-kelamaan ya malas juga. Rasanya udah kehilangan semangat karena liburan kami bakal berakhir. Bahkan dua temanku uangnya sampai minus karena minimnya uang yang dia bawa (ini jangan ditiru, backpacker bukan berarti segala sesuatunya harus serba mlarat, lebihilah uang meskipun sedikit, jangan sampai nanti kalian jadi kelimpungan sendiri). Kami pun akan jalan kaki lagi ke Lempuyangan. Karena udah tau jalan yang bakal dilewati, jadi cukup nyantai lah.

Kereta Gaya Baru Malam yang kami tumpangi akan masuk Stasiun Lempuyangan pukul 19.32. Kata Mbak Yusda, nanti ketemuan di stasiun aja karena dia juga masih di jalan terkena macet. Jadi kami menuju Lempuyangan jam 6 lebih setelah magrib. Sebenarnya aku ngerasa nggak enak hati juga sama Mbak Yusda yang repot-repot beliin bakpia yang lokasinya ada di jalan Prangtritis, terus harus ke Lempuyangan. Belum juga nanti balik ke rumah di Bantul. Dia jadi bolak-balik buat kami berempat. Udah gitu aku nggak bisa ngasih apa-apa, lagi. Padahal sebelumnya aku udah bilang bawain panganan khas Surabaya. Tapi berhubung dadakan banget, karena aku ada di Jombang dan baru tiba di Surabaya jam sepuluh malam. Mau cari di mana, coba? Sori ya Mbak Yusda, kalau ketemu lagi aku bawain deh, janji. Hehe... 

Oke, setelah Mbak Yusda ngasih titipan kami sekitar jam 7 malam, aku sama dia ngobrol-ngobrol sebentar dan tentu aja ngucapin banyak-banyak terima kasih atas kebaikan dan bantuannya. Aku pun masuk ke dalam ruang tunggu stasiun. Ketemuan kami cuma sebentar, pengennya lama dan muter-muter Jogja sampe puas. Apalagi ke daerah Bantul ada wisata hutan pinus Imogiri, Kebun Buah Mangunan, Jembatan Sesek dan masih banyak lagi yang belum ke-eksplor.

Malam itu jadi malam terakhir liburan kami di Jogja. Kereta yang kami tunggu udah datang dan kami bersiap-siap masuk ke gerbong. Di dalam, nggak ada kegiatan lain kecuali tidur selonjoran di satu kursi karena kereta lagi sepi. Aku baru kebangun pun waktu nyampe stasiun Jombang haha. Padahal kerasa sebentar tapi nggak taunya lama. Dan kami pun tiba di Surabaya Gubeng pukul 01.25. Hmm... berakhir sudah liburan kami di Jogja.

Oke pemirsa haha, segitu aja pengalaman beserta sedikit tips dari aku. Semoga dari awal tadi sampai takhir cerita nggak ngebosenin ya. Semoga bermanfaat juga bagi kalian yang berniat ke Jogja dalam waktu dekat ini. Selamat liburan! Salam backpacker amatiran!

Eh, hampir lupa, aku mau ngasih rincian pengeluaran yang aku rogoh selama di Jogja nih;
1.       Tiket kereta api PP IDR210.000,-
2.       Penginapan per anak bayar IDR35.000,-
3.       Makan, minum, jajan IDR40.000,-
4.       Transportasi IDR3.600,-
5.       Wisata Prambanan IDR30.000,-
6.       Oleh-oleh keseluruhan IDR128.000
7.       Lain-lain 10.000,-

Jadi total biaya yang aku keluarkan sebanyak IDR456.600 selama satu malam hampir 2 hari di sana. Sangat hemat, murah, dan terjangkau, kan? Syukurlah waktu itu uangku masih sisa 53.000 hehe mayan lah. So, tunggu apa lagi? Let’s go there!