Awalnya sih
nggak berniat buat nuangin pengalaman liburan super-singkatku di blog, tapi
kalo nggak bercerita di tempat lain seperti blog ini, misalnya, rasanya kurang
enak aja. Soalnya di sini juga bisa untuk kenang-kenangan dan itung-itung share
buat kalian yang baca tulisan ini. Oke, aku mulai aja ya. Begini
awal mula ceritanya... *tsaahh*
HARI PERTAMA
Jauh-jauh hari, bahkan sekitar tiga bulan sebelumnya, aku berencana untuk melancong ke Jogja. Yep, mendengar kota yang satu ini pasti pikiran kita langsung tertuju pada Malioboro, Keraton, Alun-Alun, Candi Borobudur, dan untuk kulinernya pastilah gudeg. Yogyakarta, siapa sih yang nggak kenal kota dengan unsur adat Jawa yang sangat kental itu? Mulai dari silsilah keluarga, jabatan, bahasa, keramahan, atau sopan-santun warganya. Jogja memang bagus. Pesonanya mampu menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Nggak hanya musim liburan aja, hari-hari biasa Jogja juga banyak menjadi pilihan destinasi liburan yang patut diagendakan. Aku pertama ke sana waktu kelas 10 SMA, dan diberi kesempatan lagi ke Jogja 26 Oktober 2015 kemarin. Alhamdulillah... Nggak salah banyak orang yang bilang Jogja itu ngangenin dan istimewa.
Berangkat dari Surabaya ke Jogja nggak perlu naik pesawat (iyalah, ini kan backpacker. Tapi kalau kalian ada duit lebih ya monggo bagi yang ingin jarak tempuhnya singkat dan nggak terlalu lama). Aku berburu tiket kereta api saja yang lebih terjangkau dan ekonomis. Sebenarnya aku hampir aja pesen tiket kereta bisnis Sancaka Pagi yang harganya 160.000, tapi urung melihat waktu keberangkatan dari Stasiun Gubeng-Tugu kok lama banget, hampir sama dengan kereta Pasundan yang tiket PP-nya sudah di tangan dengan harga 210.000 (100.000 untuk pergi dan 110.000 untuk pulang), waktu tempuhnya beda satu jam setengah doang. Nggak masalah kan ya? Iya dong, wong di dalam kereta juga nyantai. Kadang-kadang orang backpacker-an sama ngiritnya kebangetan itu beda tipis haha.
Untung juga,
dekat-dekat tanggal berangkat, mulanya aku dan satu temanku aja yang kayaknya
ke sana. Tapi ternyata nambah dua orang lagi (yang artinya pengeluaran bisa
dibagi rata ini hehe). Dan berangkatlah
kami berempat dari Gubeng pukul 07.15. Keretanya datangnya on time banget, bahkan kurang lima menit sebelumnya. Memang
sekarang sistem perkeretaapian Indonesia jauh lebih baik dibandingkan zaman
dulu yang amburadul dan nggak jelas. Boro-boro dapet AC, wong duduk aja jarang nggak kebagian dan sering ngejogrok di dekat
pintu, bahkan pernah aku sampai muntah karena saking nggak kuatnya
berdesak-desakan dan dipadu dengan aroma khas ketek yang memabukkan. Untung aja waktu itu ada satu kantong plastik nganggur, aku sambar aja tanpa
basa-basi.
Ya udahlah, ngapain aku jadi curcol nggak penting gitu? Back to topic!
Asli candid meski ekspresinya nggak jelas wkwk |
Di dalam kereta,
udah pada tau kan kalau sekarang udah nyaman banget? Full AC, nggak ada pedagang asongan yang wira-wiri, nggak ada orang
ngamen yang kalo nggak dikasih duit memaki-maki penumpang, dan nggak ada yang
jadi cleaning service dadakan.
Pokoknya beda jauh deh. Setiap kursi dilengkapi dengan dua colokan, mantap dah
buat para traveller yang suka buka
sosmed dan batre HP-nya cepet habis hehe. Buat kalian yang memang punya uang
saku pas-pasan dan bener-bener niat jadi “bolang”, alangkah baiknya beli
makanan dan minuman yang banyak sebelum naik kereta. Kenapa? Soalnya di dalam
kereta harganya lumayan mahal. Seporsi nasi rames yang pake kotakan itu aja
harganya 26.000 kalo nggak salah dengar waktu service crew nyebutin harganya pada
salah satu penumpang yang kebetulan duduk di depanku. Untunglah, aku dan ketiga
temanku punya bekal yang memadai hingga tiba di stasiun Lempuyangan. Dari
Gubeng-Lempuyangan, menempuh waktu sekitar kurang lebih 7 jam. Waaah, menurutku itu udah lama banget loh dan aku juga sampai bosan. Duduk kelamaan capek
juga ternyata.
Pukul 14.20, kami tiba di Lempuyangan. Oh ini stasiunnya, batinku, karena ini pertama kali aku ke Jogja naik kereta. Kami berempat turun dan langsung kebingungan karena harus mau ke mana. Pengetahuan kami tentang Jogja sayangnya minim dan di antara kami berempat cuma aku yang pernah ke sana. Ketiga temanku pun mengandalkan daya ingatku yang agak-agak kurang bisa dipercaya untuk memandu mereka. Rencananya kami mau ke daerah Malioboro dulu untuk cari penginapan dengan harga murah-meriah, habis itu jalan-jalan sore di seputaran sana. Jadi daripada kayak orang bego, bertanyalah salah satu temanku ke satpam stasiun. Apesnya, si satpam itu malah manggil tukang becak yang udah stand by di depan stasiun ––yang setahuku pasti punya niatan memodusi kami, terlebih para pelancong––dan itu memang benar. Si tukang becak terus ngikutin kami sampai ke persimpangan jalan menawari tumpangan ke Malioboro dengan harga 20.000/orang dan sekaligus dicarikan penginapan. Gileee... mahal bener. Kami langsung menolak mentah-mentah dan memutuskan untuk jalan kaki! Info dari temanku yang pernah KKN di Jogja, katanya Lempuyangan-Malioboro itu nggak jauh. Cukup jalan kali dan itung-itung olahraga nggak ada salahnya untuk dicoba.
Kami giliran bertanya pada setiap warga yang kami temui. Petunjuk dari mereka sangat jelas dan nggak sampai setengah jam persimpangan jalan Malioboro-Pasar Kembang udah di depan mata! Cihuy.... rupanya memang dekat dengan Lempuyangan lho. Untung kami nggak kemakan bualan tukang becak tadi. Pokoknya kalo kalian turun Lempuyangan, pintu keluar langsung bisa belok kanan. Aku nggak tahu itu ke utara, selatan, barat, atau timur, pokoknya ke arah kanan. Kemudian lurus aja sampai keliatan palang pintu kereta, kalian belok kiri (jangan ke kanan melewati relnya), lalu kalian akan nemuin gang pertama sebelah kanan itu masuk lagi, tinggal luruuussss aja sampai keluar ke jalan raya. Nah, dari situ ada petunjuk arah dishub yang terpampang di atas jalan, salah satunya ke pusatnya Jogja, yaitu Malioboro.
Kami berhenti sejenak ditrotoar depan hotel Inna Garuda untuk menghubungi pihak losmen di jalan Sosrokusuman yang udah aku search di google beberapa hari lalu dan nyatanya kurang jelas. Kami pun memutuskan untuk mencari penginapan di lokasi lain. Di sebelah kanan jalan Malioboro, terdapat kawasan wisata, di antaranya yang aku ingat yaitu Dagen dan Sosrowijayan yang jadi surganya para backpacker lokal maupun asing . Kami masuk ke Sosrowijayan dan langsung ditawari penginapan oleh beberapa orang. Pertama, kami menurut diajak melihat-lihat losmen, tapi harganya kurang bersahabat, kami sepakat untuk cari yang lain. Yang jadi keinginanku yaitu ke hotel Indonesia. Aku ingat temanku sebulan sebelumnya pernah merekomendasikan penginapan itu dan aku juga lupa pernah mencarinya di internet. Katanya murah banget, jadi kami menuju ke sana. Setelah tanya-tanya ke resepsionis yang ternyata seorang pria tua, kami melihat kamar yang tersedia dan akhirnya deal dengan harga 145.000/malam untuk triple bed, non AC, non TV. Fasilitasnya selain tempat tidur, ada kipas angin dan kamar mandi dalam. Bagiku cukup bagus lah. Tempatnya juga bersih dan nyaman. Kami check-in dan istirahat sebentar.
Kawasan Dagen yang menjadi surganya para backpacker. |
Halaman depan hotel Indonesia. Recomended untuk dicoba. |
Sore hari,
sesuai dengan rencana kami, kami pun jalan-jalan keluar di sekitar Malioboro.
Sore itu juga aku mau bertemu temanku yang kenal lewat facebook. Dari situ kami mulai chatting dan jadi lebih akrab. Kebetulan
rumah teman yang aku maksud ada di daerah Jogja, tepatnya di Bantul.
Yawis ngene iki. Sok keren kabeh haha. |
Kami menyusuri sepanjang jalan Malioboro yang saat itu belum mempunyai trotoar yang lebar. Tujuan kami adalah ke Benteng Vredeburg. Suasananya benar-benar ramai, apalagi di sekitar Vredeburg dan Istana Negara yang lokasinya berseberangan. Banyak turis lokal maupun para bule duduk-duduk di tempat duduk yang tersedia, menikmati Jogja sore hari menjelang petang. Aku dan ketiga temanku berfoto-foto sebentar di depan Vredeburg karena museumnya udah mau tutup. Setelah itu keliling-keliling seputaran nol kilometer yang waktu itu jalannya sedang dalam perbaikan.
Jalan-jalan berkeliling Malioboro dengan menaiki dokar emang seru, tapi lebih seruan jalan kaki :) |
Benteng Vredeburg yang cukup sepi. |
Sambil menunggu temanku dari Bantul tadi, kami duduk-duduk dan menikmati suasana yang memang sepertinya nggak ada sepinya hingga malam nanti. Setelah temanku menelepon, beberapa menit kemudian dia datang. Itu pertama kalinya kami ketemu. Kami ngobrol-ngobrol ringan––kebanyakan tentang buku haha––yang bagi kami sangat seru. Selain ngebawain camilan bakpia, dia juga memberiku tiga buah buku sekaligus sebagai hadiah ulang tahun yang ke... Ehem, 18 tapi ditambah 4 wkwkwk. Pokoknya seneng banget bisa ketemu Mbak Yusda hehe. Terima kasih banyak udah mau direpotin dengan diriku ini. Next time we’ll meet again. Kapan-kapan main ke Surabaya ya! Hehehe...
Habis dari
ketemuan dan foto-foto dengan teman Jogjaku, aku
dan ketiga temanku balik ke penginapan. Rencana kami setelah ini yaitu ke tugu
Jogja yang ada di persimpangan jalan Sudirman-Mangkubumi-A.M.Sangaji-Diponegoro.
Jam memang sudah cukup malam, sekitar setengah sebelas, itu pun takutnya udah
jalan jauh tapi nggak nyampe tempatnya.
Tapi katanya
kalau ke Jogja nggak mampir ke tugu, itu artinya belum benar-benar ngerasa di Jogja,
jadi kami pun ke sana dengan berjalan kaki kira-kira sejauh 1 kilometer (hasil
tebakan kami yang asli ngarang karena gambar peta yang sebelumnya kami dapat di
Mirota batik kan skala kecilnya aja, siapa tahu jarak sebenarnya 5 kilometer?
Bisa-bisa gempor nih kaki).
Tapi untungnya
sih nggak. Tugu memang berjarak kurang-lebih 1 kilometer dari Malioboro. Kalau
mau ke sana, rugi kalau nggak jalan
kaki. Nggak perlu naik becak atau andong. Tenang aja, malam hari suasana Jogja
malah semakin ramai. Banyak angkringan yang berdiri di pinggir jalan, ditemani
musik dan lagu khas dari musisi jalanan di sana.
Di tugu Jogja
juga belum sepi. Ada suguhan live music
dari band lokal. Beberapa SPG dengan pakaian aduhai yang menawarkan produk
salah satu provider juga turut serta meraimakan acara. Kami jadi betah
berlama-lama di sana haha. Kami baru balik ke penginapan pukul satu dini hari.
Setibanya di penginapan, tanpa perlu waktu lama lagi, kami semua tepar karena
saking capeknya.
HARI KEDUA
Esok harinya,
kami bangun pukul 7 dan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Candi
Prambanan. Kenapa Prambanan, kok bukan Borobudur? Yeah, kami liburannya kan di Jogja, bukan di Magelang, Jawa Tengah.
Jadi Prambanan wajib dikunjungi dong. Kalau ke Borobudur, waktunya terlalu
mepet dan budget juga nggak termasuk
anggaran. Sebelum pergi ke sana, kami mencari sarapan di sekitar Malioboro,
habis itu beli sedikit oleh-oleh buat keluarga di rumah. Mau beli bakpia Pathok 25,
tapi aku udah minta tolong (banget) buat dibeliin temanku di yang asli Jogja tadi dan nanti
uangnya diganti. Oke, soal itu beres deh.
Kami balik ke penginapan untuk beberes dan check-out jam 11 siang––lebih awal satu jam dari perjanjian dengan pihak losmen. Kami udah nggak sabar buat tiba dan ngelihat candi Hindu terbesar di Indonesia sekaligus jadi warisan dunia UNESCO itu. Alhasil, planning untuk mampir ke wisata Taman Sari pun gagal total dan jadi bayang-bayang sampe sekarang karena masih penasaran banget gimana suasana di dalamnya dan nggak jadi jepret-jepret. Ujung-ujungnya selalu ngiri kalau lihat acara liburan di tv atau unggahan foto di sosmed. Tapi kalau ke Jogja lagi mudah-mudahan kesampaian.
Angkutan umum di Jogja menurutku udah cukup memadai. Kebanyakan sih taksi dari berbagai merk mobil, kalau angkot kayaknya nggak ada. Kami berjalan ke halte untuk ke Prambanan dengan naik TransJogja. Dengan membayar hanya 3.600 rupiah aja dan nanti diberi satu kartu untuk masuk ke area halte untuk nunggu busnya datang, kami bisa menempuh waktu yang singkat dan jarak yang lumayan jauh. Itu pun armada busnya udah lumayan banyak jadi nggak ada penumpukan penumpang. Rute yang kami pilih yaitu trayek 1A yang nantinya melewati Malioboro-Gondomanan-Raya Janti (JEC)-Bandara Adi Sutjipto-Gembira Loka-Kalasan-Prambanan. Kira-kira 45 menit kami akhirnya berhenti di halte terakhir.
Suasana di dalam TransJogja. Sumpah, ibu petugasnya kalo ngasih tau halte pemberhentian cepet banget |
Turun dari bus, saranku jangan meladeni para tukang becak yang menawarkan jasanya haha. Bukannya jahat, maksudku kalian yang mau ke Prambanan nggak berarti dilarang naik kendaraan roda tiga itu. Ingat kembali pada tujuan utama; backpacker-an. Satu hal yang berkaitan dengan backpacker adalah HEMAT, bukan malah menghambur-hamburkan uang yang nantinya bisa kalian gunakan jika kalian menemukan sesuatu yang lebih penting dan butuh lainnya.
Dari halte Prambanan, candinya udah kelihatan kok. Cuma kami harus jalan kaki dulu sejauh 1 kilometer untuk menuju pintu masuknya. Cuaca pada saat itu panas luar biasa. Kami berjalan di trotoar dengan berusaha semangat ngelawan panasnya Jogja yang menggila. Masa iya harus kalah dengan dua bule yang kebetulan bareng sama kami? Malu dong haha. Mereka aja sama sekali nggak kelihatan lelah, jadi kami berempat harusnya juga bisa.
Sesudah masuk gerbang utama, kami menuju loket untuk membeli tiket masuk. Untuk turis lokal, tiketnya 30.000 (dewasa) dan 12.500 (anak-anak). Tersedia juga tiket terusan seharga 50.000 (Prambanan, Candi Bubrah, dan Ratu Boko nanti naik shuttle bus). Aku cuma tahu tiket terusan untuk turis lokal aja, kalau asing kurang tahu, pastinya lebih mahal lagi ya. Untuk tiket turis asing ke Prambanan aja sebesar 171.000 (dewasa) dan 85.000 (anak-anak). Habis beli tiket, waktunya meng-explore Prambanan. Cihuy!
Jarak dari pintu masuk tiket dan candinya terasa cukup jauh karena cuaca panas lagi puncak-puncaknya. Persedian air mineral botolan kami juga tinggal sedikit padahal nyampe candinya aja belum. Di luar perkiraan, aku sendiri niatnya berfoto-foto ke semua candi dan berbagai sudut, kalau perlu. Tapi nyatanya? Aku malah duduk-duduk santai di anak tangga salah satu candi untuk berteduh sambil ngeliatin wisatawan yang sedang berkunjung haha. Pokoknya, benar-benar malas karena panasnya. Apalagi di Prambanan kan lumayan berdebu. Keinginan buat foto udah nggak seniat tadi. Pengen cepat-cepat balik terus beli minuman dingin buat nyegerin tenggorokan.
WOW! Asli keren banget. |
Turis lokal wkwk :D |
Nggak sesuai ekspektasi. |
Nggak niat foto. |
Tapi kesenanganku tetap nggak berkurang. Dulu aku cuma bisa lihat candi Prambanan lewat tv aja dan dengar cerita legendanya saat mulai SD. Sekarang, aku ngelihat dengan mataku sendiri. Bangunan candi berdiri megah di sekeliling, membuatku takjub. Ada candi Siwa, candi Brahma, candi Wisnu, candi Nandini, candi Angsa, candi Garuda, dan masih ada beberapa yang lainnya. Luar biasa sekali, kan? Indonesia memang kaya banget deh. Mulai dari alam, kebudayaan, situs warisan, bahkan penduduknya. Tapi ini yang penting, ingat selalu untuk merawat dan menjaga lingkungan wisata. Jangan pernah buang sampah sembarangan!
Kami berwisata
ke Prambanan kurang lebih empat jam. Saat hendak menuju pintu keluar aja, kudu jalan kaki dulu sejauh kira-kira 1 kilometer, LAGI. Dan
pas udah jalan beberapa meter, kami seperti nemuin oase di gurun pasir *halah berlebihan*
tapi itu perumpamaan yang tepat kok. Udah bekal minum habis, nggak jajan karena
nggak ada orang yang jual di dalam candi, kami nemuin air minum gratis
di pos dekat penyewaan sepeda. Nggak pake lama lagi, kami langsung ngambil dan
minum dengan brutal. Mungkin kalau dibotolin udah sekuruan botol aqua gede tiga
kali. Karena lama-lama nggak enak sendiri sama petugas di sana, kami
ngelanjutin perjalanan. Kami mampir sebentar ke museum yang mirip pendopo untuk
istirahat, habis itu lanjut keluar.
Lukisan Presiden RI yang pertama Ir. Soekarno. |
Ada yang tau ini patung apa? |
Di sepanjang pintu keluar, banyak pedagang yang menjual beraneka macam oleh-oleh khas Prambanan. Harganya relatif murah. Gantungan kunci aja dijual 1.000/biji. Aku membeli 10.000 dengan bentuk beda-beda tanpa perlu menawar. Aku juga beli beberapa jajanan yang harganya harus ditawar terlebih dahulu. Nggak usah takut atau sungkan, kita kan pembeli. Nawar berapa aja sah-sah aja dong, asal jangan kelewat murah dari harga yang disebutin penjualnya. Tawarlah dengan separuh harga yang jadi patokan. Ohya, lakukan itu juga waktu mau cari buah tangan di kawasan Malioboro. Dijamin, nggak bikin isi dompet sekarat. Yang penting; wajib menawar, jangan asal oke-oke aja. Nggak lucu dong kalo baru liburan tapi duit udah pengen ngajak pulang karena pengeluaran yang nggak terkontrol.
Waktu menunjukkan pukul tiga sore, kami berjalan menuju halte Prambanan untuk balik ke Malioboro. Kenapa ke sana? Ya karena malam itu juga kami harus kembali ke Surabaya. Benar-benar singkat, padat, dan jelas, kan, liburan ala backpacker amatiran ini? Kalo aku sendiri sebenarnya kurang, tapi masalahnya salah satu temenku cuma cuti dua hari dari kerjaannya.
Kami naik TransJogja dengan harga yang sama, 3.600. Trayeknya pun masih sama juga yaitu 1A. Nanti bus yang kami naiki akan mulai dari Prambanan-Kalasan-Bandara Adi Sutjipto-Maguwoharjo-Janti (JEC)-UIN Kalijaga-Sudirman (Tugu)-Mangkubumi-Malioboro. Halte Malioboro sendiri ada 2, kami berhenti di halte 1 yang dekat dengan Inna Garuda. Sedangkan Malioboro 2 haltenya dekat dengan Beringhardjo.
Tujuan kami ke Malioboro untuk nongkrong di sana sampai jam enam sore dan nunggu oleh-oleh bakpia dari Mbak Yusda. Kami memotret suasana sekitar, tapi lama-kelamaan ya malas juga. Rasanya udah kehilangan semangat karena liburan kami bakal berakhir. Bahkan dua temanku uangnya sampai minus karena minimnya uang yang dia bawa (ini jangan ditiru, backpacker bukan berarti segala sesuatunya harus serba mlarat, lebihilah uang meskipun sedikit, jangan sampai nanti kalian jadi kelimpungan sendiri). Kami pun akan jalan kaki lagi ke Lempuyangan. Karena udah tau jalan yang bakal dilewati, jadi cukup nyantai lah.
Kereta Gaya Baru Malam yang kami tumpangi akan masuk Stasiun Lempuyangan pukul 19.32. Kata Mbak Yusda, nanti ketemuan di stasiun aja karena dia juga masih di jalan terkena macet. Jadi kami menuju Lempuyangan jam 6 lebih setelah magrib. Sebenarnya aku ngerasa nggak enak hati juga sama Mbak Yusda yang repot-repot beliin bakpia yang lokasinya ada di jalan Prangtritis, terus harus ke Lempuyangan. Belum juga nanti balik ke rumah di Bantul. Dia jadi bolak-balik buat kami berempat. Udah gitu aku nggak bisa ngasih apa-apa, lagi. Padahal sebelumnya aku udah bilang bawain panganan khas Surabaya. Tapi berhubung dadakan banget, karena aku ada di Jombang dan baru tiba di Surabaya jam sepuluh malam. Mau cari di mana, coba? Sori ya Mbak Yusda, kalau ketemu lagi aku bawain deh, janji. Hehe...
Oke, setelah Mbak Yusda ngasih titipan kami sekitar jam 7 malam, aku sama dia ngobrol-ngobrol sebentar dan tentu aja ngucapin banyak-banyak terima kasih atas kebaikan dan bantuannya. Aku pun masuk ke dalam ruang tunggu stasiun. Ketemuan kami cuma sebentar, pengennya lama dan muter-muter Jogja sampe puas. Apalagi ke daerah Bantul ada wisata hutan pinus Imogiri, Kebun Buah Mangunan, Jembatan Sesek dan masih banyak lagi yang belum ke-eksplor.
Malam itu jadi
malam terakhir liburan kami di Jogja. Kereta yang kami tunggu udah datang dan
kami bersiap-siap masuk ke gerbong.
Di dalam, nggak ada kegiatan lain kecuali tidur selonjoran di satu kursi karena
kereta lagi sepi. Aku baru kebangun pun waktu nyampe stasiun Jombang haha.
Padahal kerasa sebentar tapi nggak taunya lama. Dan kami pun tiba di Surabaya
Gubeng pukul 01.25. Hmm... berakhir sudah liburan kami di Jogja.
Oke pemirsa haha, segitu aja pengalaman beserta sedikit tips dari aku. Semoga dari awal tadi sampai takhir cerita nggak ngebosenin ya. Semoga bermanfaat juga bagi kalian yang berniat ke Jogja dalam waktu dekat ini. Selamat liburan! Salam backpacker amatiran!
Eh, hampir lupa, aku mau ngasih rincian pengeluaran yang aku rogoh selama di Jogja nih;
1.
Tiket kereta api PP IDR210.000,-
2.
Penginapan per anak bayar IDR35.000,-
3.
Makan, minum, jajan IDR40.000,-
4.
Transportasi IDR3.600,-
5.
Wisata Prambanan IDR30.000,-
6.
Oleh-oleh keseluruhan IDR128.000
7.
Lain-lain 10.000,-
Jadi total biaya yang aku keluarkan sebanyak IDR456.600 selama satu malam hampir 2 hari di sana. Sangat hemat, murah, dan terjangkau, kan? Syukurlah waktu itu uangku masih sisa 53.000 hehe mayan lah. So, tunggu apa lagi? Let’s go there!