Kamis, 11 Februari 2016

Review Novel Dilan by Pidi Baiq

Dua kata buat buku ini; Keren abis! Nggak nyesel deh beli buku ini karena dari awal aku sangat penasaran. Untungnya juga beli waktu ada diskon 25%, timing-nya pas banget.Dari pertama baca salah satu cuplikan dialog pada sinopsisnya udah memancing rasa ketertarikanku.“Milea, kamu cantik. Tapi aku nggak mencintaimu. Nggak tau kalau sore, tunggu aja.”Terdengar konyol tapi unik, kan? Langsung aja aku comot, bawa ke kasir, dan dibaca sampai habis tanpa butuh waktu lama sebenernya. Berhubung aku sibuk (sok sibuk maksudnya) jadi kelar semingguan. Dan aku menutup novel ini dengan puas, alhamdulillah. Baca pada bagian pertama aja udah sisuguhi lelucon yang bikin senyum. Selanjutnya, cerita mulai mengalir lancar. Seperti apad adanya tanpa dibuat-buat. Gaya penulisannya juga ringan dan enak dibaca. Di sini, meskipun cover bukunya seorang cowok, yang bercerita adalah Milea, seorang cewek yang udah dewasa dan mengulang kembali kisahnya saat masih kelas 2 SMA di Bandung pada tahun 1990.Mungkin kalau kalian para remaja yang hidup di zaman sekarang akan menganggap buku ini jadul, nggak gaul, kolot. Aku bilangin ya, itu salah. That’s totally wrong! Kalian harus baca buku ini. kalau nggak, nyesel lah kalian. Memang ini ceritanya sekitar tahun 1980-an mau ke 1990, di kota kembang Bandung yang dingin, tapi cerita di dalam buku ini sangat kekinian, bahkan lebih bagus. Kita bakal diajak keliling2 Bandung pada 20 tahun lebih silam. Aku aja sampai senang kok bisa nemuin novel ini. Pokoknya nggak kalah apik dengan novel remaja saat ini.Bagi para cewek2, aku pesen aja kalau baca buku ini harap hati2 lantaran nanti takutnya jatuh cinta sama cowok namanya Dilan sejak dia muncul. Kalau nggak, bisa2 kalian akan ngehadepin si Milea. Just info, Dilan itu tipe coowk SMA puluhan tahun yang lalu yang suka banget nggombal, gayanya cool, anggota geng motor, dan suka bertingkah lucu. Itulah alasannya Milea sampe klepek2 sama dia. Ajiabnya, anggota keluarga Dilan ini sepertinya udah keturunan dari sononya kalau pas ngomong suka asal dan penuh candaan haha. Nggak Dilan, nggak bundanya, nggak adiknya, sama aja. Bisa bikin orang ketawa kalu deket sama mereka.Dan bagi para cowok, nggak ada salahnya baca novel ini karena di dalamnya mengandung taktik gimana caranya menaklukkan wanita. Pokoknya dibandingin cara kalian sekarang PDKT, wah kalah keren jauh! Sekarang mah caranya udah mainstream, udah nggak spesial, udah ketinggalan zaman malah menurutku hehe. Bisa dipraktekin kalau mau. Apalagi ke gebetan sebelum dia diambil orang lain *eaaa*Penulis yang notabene seorang laki2, bisa jadi perempuan secara utuh untuk peran Milea. Semua karakter pemain di sini lumayan “dapat” dan porsinya juga pas. Dan kekurangan pasti ada lah. Dikit aja sih. Aku nemu permasalahan menguap gitu aja. Misalnya hubungan Milea dan Beni. Nakalnya Dilan itu juga kurang (seperti pada bagian perkelahian atau tawuran). Tapi ini kan ada sekulenya, mudah-mudahan sih dibahas tuntas di buku keduanya agar sesuai sama ekspektasi pembaca.Ada typo di beberapa halaman. Cuma yang aku ingat yaitu di halaman 310. Saat Milea dalam perjalanan pulang dengan Kang Adi dari ITB dan mau mampir di warung. Ada satu kata yang bikin cukup bingung  dan bagiku harus dibenahi, yaitu kata Meteran dan Meterai. Yang bener yang mana? Beda satu huruf beda pula benda yang dimaksud. Soalnya ini nggak dibahas pada bab itu dan nggak ada pengulangan kata untuk memperjelas. Untungnya, di bab berikutnya ada cerita yang memakai kata itu dan akhirnya aku ngerti.Itu aja sih. Keseluruhan recomended buat dibaca. Aku kasih 4 dari 5 bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar